Haiii Milea, tulisan ini kutulis khusus untukmu 😊. Tentang kamu, aku, dan mereka, para orang tua dengan anak istimewa. Mereka yang berjuang menggenapi hati masing-masing. Menatap masa depan dengan penuh keyakinan.
❤❤❤
Seorang sahabat datang berkunjung ke rumahku. Sebut saja namanya Milea. Sekian lama kami tak pernah berjumpa, sejak ia merantau ke negeri seberang.
Riuh obrolan tentang kerinduan kami di masa lalu. Tentang reuni, silaturahmi, dan beraneka pertemuan. Ia tampak bahagia pulang ke tanah kelahirannya. Bercerita tentang segala hal di perantauannya.
Tibalah saat ia terdiam. Ah, perempuan tegar itu akhirnya membuatku pilu.
"Semua salahku, Ra."
"Semua ini salahku, gara-gara aku!" ucapnya sambil meremas tanganku.
Aku tahu, pembahasan yang sama seperti yang sudah-sudah. Pengalaman kami, untuk saling menguatkan. Kadang kala, aku yang sibuk menyalahkan diri sendiri, Milea yang menenangkanku. Begitu pun sebaliknya.
"Apa, Mi? Kenapa lagi kali ini?" ujarku tak sabar. Aku tak punya sifat setegar dirinya. Perempuan berhati besar, yang membesarkan anak ABKnya di perantauan. Ia yang sekuat itu menghadapi dunia, harus menangis tergugu di hadapanku.
"Kemarin, aku ikut reuni. Awalnya semua baik-baik, Ra." ucapnya.
Tangannya sibuk menyeka air mata. Bagiku ia tetap cantik.
"Terus? Ini tangisan apa? Gara-gara reuni itu?" lagi-lagi aku tak sabar.
"Akhirnya, ada yang bilang pantesan anakmu begitu lha kamu sibuk kerja." tuturnya lirih. Ah... Kini aku paham maksudnya.
"Terus?"
"Mulai dari situ banyak yang tanya-tanya dan ngajak diskusi, Ra."
Mengajak diskusi?
Manis sekali, bukan? Itulah Milea, selalu punya sisi positif meskipun sebagian dunia menghakiminya. Jangan tanya kalau itu terjadi padaku.
"Jadi, gara-gara ditanya itu, kamu nangis kayak gini?"
"Belum. Masih panjang. "
"Oh oke. Go a head."
"Begitu mereka tahu aku resign. Ada beberapa teman yang mulai ngomong tentang enaknya hidupku."
"Gimana, Mi? Emang enak hidup kita." cangkir teh di tanganku mulai dingin.
"Pantesan makin kinclong aja. Enak banget ongkang-ongkang kaki di rumah lah ya!"
"Aduh. Kalo aku jadi kamu, pasti enak banget. Di rumah kerjaan cuman makan tidur makan tidur melulu. "
Aku tertawa. Begitu lah, rumput tetangga selalu lebih hijau. Entah semua itu kalimat ujaran keirian atau kenyinyiran. Padahal di perantauan kami sama-sama tak punya asisten rumah tangga. Tawaku terhenti, saat Milea mengucapkan kalimat berikutnya.
"Yang bikin aku sedih Ra. Pas mereka bilang tentang Tara."
"Apa? Bilang apa? " aku bersiap-siap, menahan nafas.
"Kalau kamu di rumah aja, itu kenapa si Tara kok ga ada perkembangan? Perasaan sama aja kayak tahun lalu." air matanya mulai merebak.
"Emang di rumah gitu ngapain aja? Terapinya kok kayak gak ngefek gitu?
"Ngabis-ngabisin uang aja kali. Kayaknya kamu perlu pindah klinik dech, Mi. Apa ganti dokter gitu, Mi. "
"Itu pasti gara-gara kamu sibuk kerja Mi. Tara kamu taruh di Day Care, jadinya gak terurus."
Tepat di kalimat terakhir. Tangis Milea pecah. Aku, hanya diam. Kuputuskan untuk tidak memeluknya dalam kondisi begitu. Aku, sama rapuhnya seperti dia.
Aku, cukup amat sangat mengerti perasaannya saat itu.
Aku pun mengalami juga, dihempaskan dengan kalimat-kalimat tak berfaedah itu.
Aku, memutuskan memeluk hati dan pikiranku sendiri.
Kubiarkan Milea menangis, supaya semua energi negatif itu keluar dari pikirannya, dari jiwanya.
Cukup lama kami berdua berkutat dengan pikiran masing-masing. Aku tak bernafsu lagi minum teh, makan kue pun tak sanggup.
Milea sibuk menyeka wajahnya dengan tissue.
Ah. Hati Milea, hati kami, hati mereka tidak sebercanda itu.
Hati orang tua dari anak ABK mungkin ditempa dengan berbagai macam ujian. Termasuk ujian kalimat-kalimat tak berfaedah yang menggembosi semangat yang sudah diatur sedemikian lamanya. Kalimat-kalimat yang menjadi racun bagi pikiran yang sebelumnya baik-baik saja.
"Terus apa yang kamu lakukan waktu itu?" tanyaku perlahan.
"Ya aku bilang Tara kuterapi juga di rumah. Aku stimulasi di rumah."
"Aku juga udah resign sejak setahun aku di Malaysia"
"Dua kali seminggu Tara di terapi. "
"Kenapa gak kamu bilang apa yang udah kamu lakukan selama ini? "
"Udah Ra. Udah semua. "
"Tapi ya, mereka gak mau dengar. "
Mungkin, bukan tidak mau.
Mungkin, sebagian orang lebih suka menghakimi tanpa sadar.
Mungkin, sebagian kita lebih sennag bicara, bicara, bicara, dan bicara. Tanpa melihat perasaan orang yang diajak bicara.
Mungkin, semua itu bukan tentang baper dan kebaperan.
Bukan tentang hatinya yang terlalu sensitif.
Bukan tentang membela diri.
Mungkin, semua itu tentang memori, kilasan masa lalu. Yang menggelegak meminta keluar, padahal selama ini telah diupayakan untuk sembunyi dalam suatu ruangan didalam hati.
Sounds familiar?
Mau marah?
Misuh?
Gebrak meja?
Nope!
Kami biasanya hanya diam saat tak sanggup lagi mendengar.
Kami hanya memalingkan wajah saat hati kami terluka
Kami hanya sanggup menunduk kala usaha kami diremehkan
Kami hanya menghela nafas saat buah hati yang dengan segenap tenaga, biaya, dan usaha kami upayakan untuk menjadi "normal" dikatakan ini dan itu.
Tidakkah mereka lihat bagaimana kami berjuang.
Tidakkah mereka merasa bahwa kami juga ingin memiliki kehidupan yang sempurna.
Tidakkah mereka mengerti, kami berusaha untuk kuat, tidak merasa paling menyedihkan dan paling menderita.
Kami juga berupaya sejajar dengan mereka yang punya kehidupan normal
Kami juga berusaha tegar
Kami juga tak ingin dikasihani
Kami menerima takdir ini dengan segenap hati, sepenuh penerimaan, dan dengan kelapangan dada.
Dengar kalimat seperti itu, biasanya kita akan berada di dua pilihan. Menerima ke dalam hati, tersenyum kecut, menyerapnya ke dalam pikiran. Pulang ke rumah, lalu bersedih, marah, dan berakhir dengan menyalahkan diri sendiri. Paling parah, menjadi tidak percaya diri, minder tingkat tinggi.
Atau menolak, mengatakan pembelaan sekuat tenaga. Kalau perlu kata-katai balik. Manusia punya sikap defense yang baik, yang akan dikeluarkan pada saat yang diperlukan.
Parahnya. Setelah berbasa-basi, mengungkapkan keprihatinan. Muncul kalimat-kalimat ajaib "yang tanpa disadari menjadi paku dan racun.
Berapa banyak reuni, silaturahmi, buka puasa bersama, dan pertemuan lainnya?
Berapa banyak kalimat unfaedah itu muncul ke permukaan dan meninggalkan bekas luka yang dalam?
Ini bukan tentang baper dan terlalu sensitif.
Ini tentang empati, keikhlasan, dan support.
Bertahun-tahun Milea berjuang untuk Tara. Mengendapkan mimpi-mimpinya. Mengusahakan yang terbaik untuk Tara. Terapi, stimulasi, pengobatan, diet makanan. Semua! Dan diruntuhkan hanya dalam satu pertemuan yang tidak sampai tiga jam.
Berapa banyak Milea Milea lainnya yang mengalami hal-hal semacam ini?
Ah... Mereka hanya bercanda saja, pikirku.
Lalu aku ingat, bagaimana candaan, basa-basi, terasa menjadi bullyan, perundungan.
Hingga menyebabkan orang tua dari anak-anak istimewa ini tidak percaya diri, bersedih dengan usaha keras yang selama ini mereka bangun. Cemas dan khawatir. Stres berkepanjangan, ditambah teracuni obrolan unfaedah semacam tadi. Dan yang paling parah adalah mengalami depresi.
Hanya karena kalimat-kalimat unfaedah itu.
Bukankah, jika orang tua anak istimewa ini mengalami depresi. mereka-mereka yang bicara basa-basi itu tidak akan mengulurkan tangan mengasuh anak-anak kami?
Ah... Aku kembali introspeksi diri. Pada hatiku, pada mulutku, pada pikiranku sendiri. Bukankah aku juga mungkin sering begitu? Mungkin pada orang lain yang ketemui?
Pada teman yang punya anak normal?
Pada teman-teman, saudara, orang tua?
Pada orang asing yang sempat mengobrol sejenak. Di rumah sakit, di kampus, di bank, dimana-mana?
Mungkin, para orang tua kepada anaknya. Kakak kepada adiknya. Pada kerabat, sahabat, rekan kerja, tetangga, asisten rumah tangga, tukang sayur?
Lihatlah, aku mulai meracau.
Kepulangan Milea hari itu mengajarkanku bahwa sebenarnya masing-masing dari kita punya pilihan. Ingin menjadi paku atau racun?
Menjadi orang yang menggembosi semangat. Ataukah menjadi orang yang meracuni pikiran positif yang diupayakan untuk selalu tumbuh setiap hari.
Semua tergantung dari hati, pikiran, dan mulutku.
Hari ini aku bersyukur. Keluarga besarku, kerabat dan teman-temanku bisa menerima "keiistimewaan" Musa. Menggenggam tanganku erat. Mengatakan semua akan baik-baik saja.
Meyakinkanku bahwa Musa akan menjadi anak yang hebat.
Menguatkan semangat kami, orang tuanya.
Mendukung kami untuk kuat, yang terkadang lemas karena pikiran-pikiran kami sendiri.
Sungguh, tidak mudah menjadi Milea.
Semoga tidak akan ada Milea-Milea lain yang mengalami seperti dirinya.
Tetaplah tegar Milea sayang, karena Tara membutuhkanmu lebih dari siapapun.
Salam hangat,
Dira.